Sunday, March 25, 2007

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(Sebagai Transformasi Potensialitas ke Aktualitas)

Subhan*

Abstrak: Tulisan ini membahas tentang transpormasi potensialitas yang dimiliki manusia melalui proses pendidikan sehingga teraktualisasikan dalam kehidupan. Sebagaimana diketahui bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang memiliki kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk yang lainnya. Kelebihan-kelebihan tersebut karena manusia mempunyai beberapa potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia. Potensi-potensi itu dapat diaktualisasikan dalam kehidupan melalui proses pendidikan. Dan pengertian pendidikan disini bersifat umum tidak hanya pendidikan formal dan nonformal tetapi pendidikan seumur hidup yang berlaku baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat karena proses belajar untuk mencapai kebaikan itu berlaku selamanya sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan untuk mencari ilmu mulai dari buaian sampai dengan liang kubur.

Kata kunci: Pendidikan, Potensi, Aktual dan Implementasi.

Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang menempati posisi istimewa di dunia ini. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30) dan diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. al-Tin, 95:4).

Manusia terdiri dari dua substansi; pertama, substansi jasad/materi yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan mengikuti sunnatullah (aturan, ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta), kedua, substansi immateri/nonjasadi, yaitu peniupan ruh ke dalam diri manusia sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah.

Dari kedua substansi tersebut maka yang paling esensial adalah substansi immateri atau ruhnya. Manusia yang terdiri dari dua substansi itu telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar yang harus diaktualkan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan untuk selanjutnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak di akherat.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengungapkan hakekat manusia, potensi-potensi apa saja yang dimiliki manusia, bagaimana mengktualisasikan potensi-potensi tersebut dan bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam.

Pendidikan

Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi dan pengertian. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.[1] Para ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi pendidikan Kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yang dibina dalam kegiatan ini. JOE Park umpamanya merumuskan pendidikan sebagai the art or process of imparting or acquiring knowledge and habit through instructional as strudy. Di dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction). Sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Mayer Grene mendefinisikan pendidikan dengan usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan bermakna. Di dalam definisi ini aspek pembinaan pendidikan lebih luas.[2] Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan dalam Islam lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah al-tarbiyah, al-ta`lim, al-ta`dib dan al-riyadah. Setiap terminologi tersebut mempunyai makna yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan teks dan kontek kalimatnya dan pendidikan Islam memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan secara umum.

Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[3]

Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[4]

Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[5]

Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam.[6]

Potensi Manusia

Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.

Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.[7] Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.

Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.[8] Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.

Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.[9] Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.[10] Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.

Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).

Potensi manusia dijelaskan oleh al-Qur`an antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS. al-Baqarah, 30-39). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggungjawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini dinaugerahi pula potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya, dan petunjuk-petunjuk keagamaan.[11]

Agama yang bersumber dari Tuhan dan sarat dengan ajaran dan nilai-nilai fundamental yang menjadi pegangan hidup bagi manusia, ternyata tidak bisa lepas dari persoalan interpretasi, yang pada gilirannya memunculkan keragaman pandangan. Interpretasi ini merupakan manifestasi dari keinginan seseorang untuk memahami dan memperkokoh keyakinan akan kebenaran agamanya melalui aktualisasi potensi-potensinya, baik aspek nafsiyah, yakni keseluruhan kualitas insani yang khas milik manusia, yang mengandung dimensi al-nafs, al-'aql, dan al-qalb, maupun aspek ruhaniyah, yakni keseluruhan potensi luhur psikis manusia yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fithrah.[12]

Potensi manusia dapat dibedakan dalam dua pendekatan. Pertama, Potensi fithrahi-huluqi atau potensi yang didasarkan pada hakekat penciptaan, bahwa:

a. Manusia memiliki kesanggupan besar untuk mengurus alam dengan memikul amanah yang besar setelah teruji lebih hebat daripada seluruh makhluk materi, langit, bumi, gunung (QS. al-Ahzab, 33:72) bahkan malaikat dan jin (QS. al-Baqarah, 2:30-33).

b. Dengan potensi besar tersebut manusia diberikan kedudukan yang tertinggi yang belum pernah dinyatakan oleh siapapun selain Allah, yakni khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30-33)

c. Kedudukan tersebut dimotivasikan dengan dasar yang amat kuat, yakni melayani Allah berupa kewajiban beribadah (QS.al-Dzariyat, 51:56) dan melayani manusia serta pemakmur bumi.

d. Untuk mendukung hal tersebut, manusia diberikan perangkat yang paling canggih, yakni ruhani, aqal, jasad, fithrah, dan nafs. Sebagai makhluk fi ahsani taqwim (QS.al-Tin, 95:4).

e. Seluruh tugas tersebut diberikan fasilitas yang memadai yakni bumi sebagai warisan dan rezeki untuk hidup layak serta al-huda sebagai pedoman dan Rosulullah sebagai tauladan (QS. al-Ahzab, 33:21).

f. Manusia memiliki kelemahan umum seperti; tergesa-gesa, mudah keluh kesah, lemah, mudah merasa puas, dan takabur.

g. Manusia memiliki sifat-sifat utama; sabar, tawakal, bersyukur, iman, taqwa, adl, ihsan.[13]

Kedua, Potensi basyari, yakni potensi yang dimiliki oleh seseorang yang membedakannya dari orang lain. Potensi ini menjadikan seseorang unik dan memiliki keutamaan-keutamaan tertentu. Hal ini terjadi karena empat hal; pertama, bakat atau kecenderungan, kedua, usaha, hasil belajar dan pengembangan diri, ketiga, adanya kesempatan atau peluang yang tersedia dan keempat, takdir (faktor eksternal yang ghaib).

Ada empat potensi basyari, yakni; Pertama, potensi aktual atau kasat mata yaitu potensi yang secara mudah dapat dikenali melalui pengamatan sekilas berdasarkan ciri-ciri fisik ataupun perbuatan yang tampak. Potensi ini bisa langsung dimanfaatkan seketika, tanpa harus sulit memunculkannya. Kedua, potensi laten yaitu potensi yang kadang muncul apabila ada kesempatan yang merangsangnya, tetapi tidak juga muncul apabila terbiarkan. Untuk memunculkannya perlu latihan dan peluang yang cukup. Ketiga, potensi tersamar, yaitu potensi yang tertutup karena adanya kelemahan tertentu atau adanya salah tempat atau tersia-siakannya karena mengerjakan hal lainnya, yang boleh jadi merusak potensi yang utamanya. Untuk memunculkannya perlu penelusuran secara lebih mendalam oleh spesialis tertentu, serta perlu memperoleh proses pembelajaran dan pengaktifan yang khusus. Keempat, potensi rahasia yaitu potensi yang kita tidak pernah akan tahu kecuali sesuatu hal yang istimewa terjadi atau adanya pertolongan Allah, untuk memunculkannya memerlukan kedekatan dengan Allah dan menyerahkannya kepada izin Allah.[14]

Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.

Aktualisasi Potensi Melalui Pendidikan

Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (hamba Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Hasan Langgulung mengatakan, potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.

Aspek jismiah

Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti; susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki dua sifat dasar. Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah dan ruhaniah manusia.

Aspek nafsiah

Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb.

Dimensi nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan mencelakakan (daya al-ghadabiyah) serta daya yang berpotensi untuk mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).

Dimensi akal adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada diri manusia.

Dimensi qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa seperti berusaha.

Aspek ruhaniah

Aspek ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi fitrah.[15]

Dari penjabaran diatas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual, transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha mewadahi kepentingan yang berbeda.

Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut.[16]

Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. H. M. Arifin, dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.

Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.

Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.[17] Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).[18]

Implementasi Pendidikan Agama Islam

Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia (QS. Al-‘Alaq, 96:1-5).[19] Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj, 22:54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah, 58:11, al Nahl, 16:43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur).[20] Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.

Pelaksanaan pendidikan dikenal oleh para pakar pendidikan tidak hanya pendidikan formal berupa sekolah atau madrasah tetapi ada istilah pendidikan seumur hidup yaitu sebuah sistem konsep-konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia.[21]

Pendidikan seumur hidup tidak diartikan sebagai pendidikan orang dewasa, tetapi pendidikan seumur hidup mencakup dan memadukan semua tahap pendidikan (pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi).

Pendidikan seumur hidup mencakup pola-pola pendidikan formal maupun pola-pola pendidikan non fomal, baik kegiatan-kegiatan belajar terencana maupun kegiatan-kegiatan belajar insidental.[22]

Penutup

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk sempurna yang memilki kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Salah satu kelebihan tersebut adalah karena manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Dipilihnya manusia karena memiliki beberapa potensi dalam dirinya. Potensi-potensi tersebut baik berupa aspek nafsiyah, yakni keseluruhan kualitas insani yang khas milik manusia, yang mengandung dimensi al-nafs, al-`aql dan al-qalb, maupun aspek ruhaniyah, yakni keseluruhan potensi luhur psikis manusia yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fithrah.

Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menjadikan manusia dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995.

Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980.

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999.

Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992.

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1994.

Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976.

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980.

Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H.

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, Bandung : Mizan, Cet. IX, 1999.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-3, 2004.

Muhaimin, Mencari Format Membangun Ukhuwah, Republika Edisi Jum`at 21 Maret 2003.

Malik Fadjar (Pengantar) dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

Psikologius.net, Mengenal Potensi Diri, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Diakses tanggal 1 Januari 2007 jam 11.00 Wita.

Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 2002.

Zahrila Ismail, Aktualisasi Psikologi dalam Pendidikan Islam, diakses dari webside iy4_82@yahoo.com tanggal 2 januari 2007 jam 09.00 wita.



* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tengah menyelesaikan program doktor (S3) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hal. 232.

[2] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, hal. 5-6.

[3] Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, hal. 39.

[4] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980, hal. 94.

[5] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976, hal. 85.

[6] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999, hal. 6.

[7] Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418H, hal. 152-153.

[8] Ibid, hal. 895-899.

[9] Ibid, hal. 32.

[10] Ibid, 119-120.

[11] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, Bandung : Mizan, Cet. IX, 1999, hal. 282-283.

[12] Dr. H. Muhaimin, MA, Mencari Format Membangun Ukhuwah, Republika Edisi Jum`at 21 Maret 2003.

[13] Psikologius.net, Mengenal Potensi Diri, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Diakses tanggal 1 Januari 2007 jam 11.00 Wita.

[14] Ibid.

[15] Zahrila Ismail, Aktualisasi Psikologi dalam Pendidikan Islam, diakses dari webside iy4_82@yahoo.com tanggal 2 januari 2007 jam 09.00 wita.

[16] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-3, 2004, hal. 19.

[17] Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v

[18] Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.

[19] Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu, eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.

[20] Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969, Hal. 5 dan 89.

[21] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 2002, hal. 169.

[22] Ibid, hal. 170.

Friday, March 23, 2007

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS

( Kajian Normatif Teks al Qur`an tentang Humanisme)

Subhan*

Abstrak: Tulisan ini membahas tentang Paradigma Pendidikan Islam Humanisme. Islam pada masa kejayaannya menjadi pusat kajian berbagai disiplin ilmu, hal ini terbukti dengan bermunculannya para ilmuwan muslim. Tetapi dengan berjalannya waktu intelektualisme Islam itu mulai redup seiring dengan pemahaman dan budaya mengekor (taqlid). Padahal al-Qur`an banyak memberikan isyarat agar mengkaji semua disiplin ilmu, tidak terbatas ilmu-ilmu agama saja. Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat al-Qur`an yang memerintahkan untuk mengkaji alam ini. Paradigma Pendidikan Islam yang mengarah kepada pengkajian yang komprehenshif baik ilmu pengetahuan agama maupun umum adalah sebagai Paradigma Pendidikan Islam Humanis atau memanusiakan manusia sesuai dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Kata kunci: Paradigma, Pendidikan dan Humanisme.

PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.[1] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.[2] Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.[3] Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).[4]

Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.(QS. Al-‘Alaq,96: 1-5).[5] Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj,22: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah,58: 11, al Nahl,16: 43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur). [6] Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam[7], meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju masyarakat yang berbudaya.[8] Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa.[9]

Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing). Munculnya berbagai lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini.[10] Prestasi besar Islam era inilah yang membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia barat.[11]

Namun Kontruksi spektakuler Islam masa lalu tersebut dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak ketika tahun 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada imperialisme Barat atas negara-negara Islam.[12] Pergulatannya dengan dunia barat bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam, seperti degradasi moral, pragmatis, hedonis, dan sekuler.[13]

Problem diatas masih diperparah dengan maraknya sintom dikotomik dan maraknya tradisi Taqlid dikalangan umat Islam. Menurut Abdurrahman Mas’ud sampai saat ini ada kesan umum bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran. Indikatornya adalah mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga yang serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan cara berfikir yang serba dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu agama versus ilmu non agama (Secular Sciences) dan bentuk – bentuk dikotomi lainnya.[14] Paradigma ini dipengaruhi bahwa sains dan teknologi sebagai lambang peradaban dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notobene negara nonmuslim. Akibatnya, pemahaman penjajahan Barat atas Timur semakin menguat dan dominasinya telah menyisihkan umat Islam yang semakin terbelakang dalam bidang sains, teknologi modern, informasi, ekonomi dan kultur (inferior complex). Sintom dikotomik ini bukan hanya muncul dari lembaga pendidikan Islam, tetapi telah menjangkiti seluruh lapisan Islam.[15]

Ilustrasi diatas menunjukkan terdapat ketidaktepatan antara teks ajaran terutama al QurĂ¡n sebagai landasan normatif umat Islam dengan praktek pendidikan Islam di era global seperti sekarang ini. Artinya, pendidikan Islam sebagai misi pembentukan insan kamil di era modern dapat dianggap gagal dalam membumikan universalitas ajaran Islam dan terjebak dalam dehumanisasi. Dalam prakteknya, Institusi pendidikan lebih merupakan proses transfer ilmu dan keahlian daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dehumanisasi pendidikan.[16]

Dari pemikiran diatas, penulisan ini diharapkan mampu mengeksplorasi universalitas ajaran Islam dalam teks al QurĂ¡n tentang humanisme dan implikasinya dalam pendidikan Islam sebagai kerangka paradigmatik.

PARADIGMA

Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution.[17] Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton sebagaimana dikutip Mansour Fakih mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the compexity of the real world”, (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata).[18] Sementara itu Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menggunakan istilah lain yang maknanya hampir sama dengan paradigma yaitu al-qa`idah fikriyah yang berarti pemikiran dasar yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya.[19]

PENDIDIKAN ISLAM

Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi dan pengertian. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.[20] Para ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi pendidikan Kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yang dibina dalam kegiatan ini. JOE Park umpamanya merumuskan pendidikan sebagai the art or process of imparting or acquiring knowledge and habit through instructional as strudy. Di dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction). Sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Mayer Grene mendefinisikan pendidikan dengan usaha manusia untuk menyaiapkan dirinya untuk suatu kehidupan bermakna. Di dalam definisi ini aspek pembinaan pendidikan lebih luas.[21] Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Adapun pendidikan Islam memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan secara umum. Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[22]

Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[23]

Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[24]

Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam.[25]

HUMANISME

Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang.[26]

Menurut Sastrapratedja, dalam situasi pluralisasi kehidupan dan kebudayaan sekarang, tidak mungkin dirumuskan satu corak humanisme. Satu hal yang tak bisa ditiadakan dalam humanisme ialah harkat dan martabat manusia harus dihormati dan dikembangkan. Dalam hal ini filsafat berfungsi menafsirkan pengalaman manusia dan berbagai tradisi budaya. Dari sana tercipta pemahaman antara budaya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan hidup dan martabat manusia.

Menurutnya makna humanisme menjadi lebih kentara dan berfungsi justru pada saat konsep humanisme diperdebatkan. Makna itu selalu "menggelincir" dari pengertian yang tetap.

Mengutip pendapat Bauman, seorang pemikir pascamodernisme, Sastrapratedja mengatakan, bila kita ingin mempertahankan arah perjalanan kita, kita perlu mendefinisikannya kembali. Sejauh manusia masih mempertanyakan apa artinya menjadi manusia, maka humanisme sebagai pandangan hidup dan sebagai filsafat masih relevan.

Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.[27]

Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh Corliss Lamont dalam bukunya Philosophy of Humanism, ia mengatakan; humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.[28]

Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.

Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya; dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah; Pertama; Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan. Kedua; Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan. Ketiga; Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Keempat; Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut. Kelima; Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima. Keenam; Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”.[29]

Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini.

Humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.

Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qurt`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.[30] Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.

Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.[31] Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.

Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.[32] Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.[33] Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.

Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).

Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS MENURUT AL-QUR`AN

Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor (taqlid,).[34] Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam.[35] Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization).

Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan.[36] Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al QurĂ¡n sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.

Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.

Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :

Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).

Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan didalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.

Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.

Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.

Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.[37]

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya derajat manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada khaliknya.

Adapun paradigma pendidikan Islam humanis yang terdapat didalam al-Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktifitas yang bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu pengetahuan yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo, 1969.

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999.

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1994.

Encarta, World Dictionary, 1999, Microsoft Corporation. Developed for Microsoft by Bloombury Publishing Plc.

Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976.

Fazlurrahman, Islam, Chicago, Chicago University Press, 1979.

Fadjar, Malik dalam Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004

Freire, Paulo dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001

Freire, Paulo, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogykarta, Pustaka Pelajar & READ, 2002, hal. 190-1.

Gibb, H.A.R., Muhammadanism, A History Survey, Oxford, Oxford University Press,1953.

Hasan, Karnadi, “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000.

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980.

Ismail, Faisal, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta : Bakti Aksara Persada, 2003.

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur`an, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997.

Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993.

Lamont, Corliss, The Philosophy of Humanism, 1977.

Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Pendidikan Nondikotomik,Gama Media, Yogyakarta, 2002.

Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418H, hal. 152-153.

Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964.

Sastrapratedja, Michael, dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, An-Nidzam Al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut : Dar al-Ummah, 1990.

Thomas Khun, The Structure of Scientific Revolution, Chicago : The University of Chicago Press, 1970.

Webside http://www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm

Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara,



* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tercacat sebagai Mahasiswa Program Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Hal. 29.

[2] Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.

[3] Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v

[4] Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.

[5] Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu, eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.

[6] Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969, Hal. 5 dan 89.

[7] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media, 2002, hal. 65.

[8] Fazlurrahman mengindikasikan bahwa karakteristik masyarakat Arab pra Islam adalah suatu pra kondisi bagi perkrmbangan Islam sebagai sarana yang menyediakan aktivitas ekspansi Arab yang mencengangkan dan sarana terjadinya perubahan revolusioner. Fazlurrahman, Islam, Chicago : Chicago University Press, 1979, Hal. 1-2. Baca juga, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan Semantik terhadap al Qur’an, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997 dan Konsep–konsep Etika Relegius, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993.

[9] H.A.R.Gibb, Muhammadanism, A History Survey, Oxford University Press, 1953, Hal. 90.

[10] Dalam rentan Abad 7-11 M, Islam mencapai kejayaan sehingga menjadi kiblat dunia barat, terutama Eropa dan spanyol. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir Islam multi disiplin ilmu. Selain keempat madzhab sebagai teolog, muncul nama Al Tabari (w 923) ahli tafsir orisinil al Qur’an. Bidang tauhid dan sufistik, kita kenal Hasan al Basri (w 728) dan Asy’ari (w. 935). Juga muncul para ilmuwan di bidang filsafat dan sains seprti biologi, matematika, kimia, kedokteran. Mereka adalah filsuf sejati al Kindi (800-870), al farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1033 M), Ibnu Rusyd, al Jahiz (w. 255 H) ahli sastra Arab, Al Mas’udi (lahir 280 H/893 M) ahli filsafat dan geografi. al Razi (303H/925 M) ahli fisika, matematika, astronomi, logika, linguistic, dan kimia. Kedokteran. Karya al Razi ini menjadi sumber paten bidang kedokteran Barat sampai abad ke 18, al Khawarizmi seorang pakar matematika. Kita juga kenal Ibn Haitam, ahli cahaya. Ibn Hazm , (lahir 384 H/994 M) ahli sejarah. Ke belakang lagi, ada al Mawardi ( w. 1058) ahli dalam teori politik dengan maha karyanya yang terkenal, al ahkam al shulthaniyah. Nama besar al Ghazali (w. 1111 M) yang dikenal barat dengan istilah orang terpenting kedua dalam Islam setelah Muhammad, ahli berbabagai hal mulai fiqh, filsafat, kalam dan tasawuf dan masih banyak lagi pemikir-pemikir multi ilmu lainnya.

[11] Baca selengkapnya dalam Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964, Hal. 61-62. Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta : Bakti Aksara Persada, 2003, Hal. 15-16.

[12] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Hal. 110.

[13] Dalam skala makro dan tak langsung, Faisal Ismail menyebutkan beberapa faktor pemicu kemunduran peradaban Islam terutama di dunia pendidikan pertama, pada masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad dan Bani Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol), terjadi proses pengeroposan nilai-nilai moral, sosial dan politik dalam bentuk meluasnya cara hidup hedonis, materialistis dan pragmatis dalam kehidupan para khalifah. Kedua, sejak peristiwa penghancuran baghdad, umat Islam di seluruh dunia dijajah oleh kekuatan kolonialis-imperialis Barat. Ketiga, Islam yang datang dan menyebar ke berbagai belahan dunia adalah Islam pasca Baghdad dan Pasca Cordova yang telah kehilangan elanvital, potensi ilmiah dan dinamika intelektualitasnya. Keempat, kondisi sisio-ekonomi yang belum menggembirakan. Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Op.Cit., Hal. 15-16.

[14] Baca selengkapnya: Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Op.Cit.

[15] Menurut Abdurrahman Mas’ud, problem ini lebih dipicu adanya polarisasi yang tajam antara sunni dan syi’ah, Pergolakan ini kemudian berlanjut ke dalam lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Nizamiyyah di Baghdad (459H/1069 M) sebagai simbol pelestarian sekte, madzhab dan aliran keagamaan, lengkap dengan keyakinan keagamaannya. Akibatnya, Madrasah ini hanya dirancang dengan kurikulum fikih an sich. Jadi tujuan madrasah ini secara jelas dimaksudkan untuk memperkuat ideologi Syafi’i Asy’ari dan membendung serangan dari pihak lain seperti Hambaliyyah, Hanafiyah, syi’ah, mu’tazilah yang berseberangan ideologi keagamaan. Namun Abdurrahman juga memberikan informasi seimbang bahwa kemenangan sunni atas syi’ah dan mu’tazilah dalam rangka mengikis ideologi hellenisme yang mengandarkan rasio yang dikhawatirkan menyebabkan demoralitas keberagaman saat itu, sehingga tidak memperkenankan mata pelajaran filsafat yang mengandalkan rasio dan logika yang berupakan sumber ilmu-ilmu sains.

[16]Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ, 2002, hal. 190-1.

[17] Thomas Khun, The Structure of Scientific Revolution, Chicago : The University of Chicago Press, 1970, hal. 134.

[18] Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hal. 78.

[19] Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, An-Nidzam Al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut : Dar al-Ummah, 1990, hal. 109.

[20] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hal. 232.

[21] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, hal. 5-6.

[22] Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, hal. 39.

[23] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980, hal. 94.

[24] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976, hal. 85.

[25] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999, hal. 6.

[26] Pernyataan itu disampaikan oleh Prof Dr Michael Sastrapratedja SJ dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di Aula STF Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.

[27] Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.

[28] Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, 1977, hal. 116.

[29] Dikutip dari www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm, Senin, 27 November 2006 jam 10.00.

[30] Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418H, hal. 152-153.

[31] Ibid, hal. 895-899.

[32] Ibid, hal. 32.

[33] Ibid, 119-120.

[34] Baca Tulisan Mustafa Umar, ‘ Ziauddin Sardar ; Islamisasi Peradaban’ dalam A Khudhori Sholeh, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela, 2003, Hal. 406.

[35] Lihat C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991, Hal. 5.

[36]Sebagaimana disitir Suyata dalam “Upaya Pembenahan Pendidikan Islam Lewat Penataan Kembali Pemikiran dan Penerapannya”, dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, Yogykarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY, 1999, hal. 97.

[37] Dikutip dari webside Pendidikan Network, judul Artikel Melacak Paradigma Pendidikan Islam, Selasa 28 November 2006, jam 11.30.