(Sebagai Transformasi Potensialitas ke Aktualitas)
Subhan*
Abstrak: Tulisan ini membahas tentang transpormasi potensialitas yang dimiliki manusia melalui proses pendidikan sehingga teraktualisasikan dalam kehidupan. Sebagaimana diketahui bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang memiliki kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk yang lainnya. Kelebihan-kelebihan tersebut karena manusia mempunyai beberapa potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia. Potensi-potensi itu dapat diaktualisasikan dalam kehidupan melalui proses pendidikan. Dan pengertian pendidikan disini bersifat umum tidak hanya pendidikan formal dan nonformal tetapi pendidikan seumur hidup yang berlaku baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat karena proses belajar untuk mencapai kebaikan itu berlaku selamanya sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan untuk mencari ilmu mulai dari buaian sampai dengan liang kubur.
Kata kunci: Pendidikan, Potensi, Aktual dan Implementasi.
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang menempati posisi istimewa di dunia ini. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi (QS. al-Baqarah,
Manusia terdiri dari dua substansi; pertama, substansi jasad/materi yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan mengikuti sunnatullah (aturan, ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta), kedua, substansi immateri/nonjasadi, yaitu peniupan ruh ke dalam diri manusia sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah.
Dari kedua substansi tersebut maka yang paling esensial adalah substansi immateri atau ruhnya. Manusia yang terdiri dari dua substansi itu telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar yang harus diaktualkan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan untuk selanjutnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak di akherat.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengungapkan hakekat manusia, potensi-potensi apa saja yang dimiliki manusia, bagaimana mengktualisasikan potensi-potensi tersebut dan bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam.
Pendidikan
Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi dan pengertian. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.[1]
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan dalam Islam lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah al-tarbiyah, al-ta`lim, al-ta`dib dan al-riyadah. Setiap terminologi tersebut mempunyai makna yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan teks dan kontek kalimatnya dan pendidikan Islam memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan secara umum.
Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[3]
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[4]
Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[5]
Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam.[6]
Potensi Manusia
Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.[7] Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.
Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.[8] Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam
Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.[9] Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.[10] Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).
Potensi manusia dijelaskan oleh al-Qur`an antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS. al-Baqarah, 30-39). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggungjawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini dinaugerahi pula potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya, dan petunjuk-petunjuk keagamaan.[11]
Agama yang bersumber dari Tuhan dan sarat dengan ajaran dan nilai-nilai fundamental yang menjadi pegangan hidup bagi manusia, ternyata tidak bisa lepas dari persoalan interpretasi, yang pada gilirannya memunculkan keragaman pandangan. Interpretasi ini merupakan manifestasi dari keinginan seseorang untuk memahami dan memperkokoh keyakinan akan kebenaran agamanya melalui aktualisasi potensi-potensinya, baik aspek nafsiyah, yakni keseluruhan kualitas insani yang khas milik manusia, yang mengandung dimensi al-nafs, al-'aql, dan al-qalb, maupun aspek ruhaniyah, yakni keseluruhan potensi luhur psikis manusia yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fithrah.[12]
Potensi manusia dapat dibedakan dalam dua pendekatan. Pertama, Potensi fithrahi-huluqi atau potensi yang didasarkan pada hakekat penciptaan, bahwa:
a. Manusia memiliki kesanggupan besar untuk mengurus alam dengan memikul amanah yang besar setelah teruji lebih hebat daripada seluruh makhluk materi, langit, bumi, gunung (QS. al-Ahzab, 33:72) bahkan malaikat dan jin (QS. al-Baqarah, 2:30-33).
b. Dengan potensi besar tersebut manusia diberikan kedudukan yang tertinggi yang belum pernah dinyatakan oleh siapapun selain Allah, yakni khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30-33)
c. Kedudukan tersebut dimotivasikan dengan dasar yang amat kuat, yakni melayani Allah berupa kewajiban beribadah (QS.al-Dzariyat, 51:56) dan melayani manusia serta pemakmur bumi.
d. Untuk mendukung hal tersebut, manusia diberikan perangkat yang paling canggih, yakni ruhani, aqal, jasad, fithrah, dan nafs. Sebagai makhluk fi ahsani taqwim (QS.al-Tin, 95:4).
e. Seluruh tugas tersebut diberikan fasilitas yang memadai yakni bumi sebagai warisan dan rezeki untuk hidup layak serta al-huda sebagai pedoman dan Rosulullah sebagai tauladan (QS. al-Ahzab, 33:21).
f. Manusia memiliki kelemahan umum seperti; tergesa-gesa, mudah keluh kesah, lemah, mudah merasa puas, dan takabur.
g. Manusia memiliki sifat-sifat utama; sabar, tawakal, bersyukur, iman, taqwa, adl, ihsan.[13]
Kedua, Potensi basyari, yakni potensi yang dimiliki oleh seseorang yang membedakannya dari orang lain. Potensi ini menjadikan seseorang unik dan memiliki keutamaan-keutamaan tertentu. Hal ini terjadi karena empat hal; pertama, bakat atau kecenderungan, kedua, usaha, hasil belajar dan pengembangan diri, ketiga, adanya kesempatan atau peluang yang tersedia dan keempat, takdir (faktor eksternal yang ghaib).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Aktualisasi Potensi Melalui Pendidikan
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (hamba Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Hasan Langgulung mengatakan, potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti; susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki dua sifat dasar. Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah dan ruhaniah manusia.
Aspek nafsiah
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb.
Dimensi nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan mencelakakan (daya al-ghadabiyah) serta daya yang berpotensi untuk mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).
Dimensi akal adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada diri manusia.
Dimensi qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa seperti berusaha.
Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi fitrah.[15]
Dari penjabaran diatas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual, transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha mewadahi kepentingan yang berbeda.
Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut.[16]
Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. H. M. Arifin, dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.
Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.
Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.[17] Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).[18]
Implementasi Pendidikan Agama Islam
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia (QS. Al-‘Alaq, 96:1-5).[19] Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj, 22:54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah, 58:11, al Nahl, 16:43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur).[20] Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Pelaksanaan pendidikan dikenal oleh para pakar pendidikan tidak hanya pendidikan formal berupa sekolah atau madrasah tetapi ada istilah pendidikan seumur hidup yaitu sebuah sistem konsep-konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia.[21]
Pendidikan seumur hidup tidak diartikan sebagai pendidikan orang dewasa, tetapi pendidikan seumur hidup mencakup dan memadukan semua tahap pendidikan (pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi).
Pendidikan seumur hidup mencakup pola-pola pendidikan formal maupun pola-pola pendidikan non fomal, baik kegiatan-kegiatan belajar terencana maupun kegiatan-kegiatan belajar insidental.[22]
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk sempurna yang memilki kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Salah satu kelebihan tersebut adalah karena manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Dipilihnya manusia karena memiliki beberapa potensi dalam dirinya. Potensi-potensi tersebut baik berupa aspek nafsiyah, yakni keseluruhan kualitas insani yang khas milik manusia, yang mengandung dimensi al-nafs, al-`aql dan al-qalb, maupun aspek ruhaniyah, yakni keseluruhan potensi luhur psikis manusia yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fithrah.
Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menjadikan manusia dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995.
Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980.
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999.
Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976.
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an,
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an,
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Muhaimin, Mencari Format Membangun Ukhuwah, Republika Edisi Jum`at 21 Maret 2003.
Malik Fadjar (Pengantar) dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
Psikologius.net, Mengenal Potensi Diri, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Diakses tanggal 1 Januari 2007 jam 11.00 Wita.
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan,
Zahrila Ismail, Aktualisasi Psikologi dalam Pendidikan Islam, diakses dari webside iy4_82@yahoo.com tanggal 2 januari 2007 jam 09.00 wita.
* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tengah menyelesaikan program doktor (S3) di UIN Syarif Hidayatullah
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
[2] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, hal. 5-6.
[3] Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, hal. 39.
[4] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980, hal. 94.
[5] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976, hal. 85.
[6] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999, hal. 6.
[7] Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an,
[8] Ibid, hal. 895-899.
[9] Ibid, hal. 32.
[10] Ibid, 119-120.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an,
[12] Dr. H. Muhaimin, MA, Mencari Format Membangun Ukhuwah, Republika Edisi Jum`at 21 Maret 2003.
[13] Psikologius.net, Mengenal Potensi Diri, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Diakses tanggal 1 Januari 2007 jam 11.00 Wita.
[14] Ibid.
[15] Zahrila Ismail, Aktualisasi Psikologi dalam Pendidikan Islam, diakses dari webside iy4_82@yahoo.com tanggal 2 januari 2007 jam 09.00 wita.
[16] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
[17] Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v
[18] Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.
[19] Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu, eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.
[20] Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969, Hal. 5 dan 89.
[21] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan,
[22] Ibid, hal. 170.