( Kajian Normatif Teks al Qur`an tentang Humanisme)
Subhan*
Abstrak: Tulisan ini membahas tentang Paradigma Pendidikan Islam Humanisme. Islam pada masa kejayaannya menjadi pusat kajian berbagai disiplin ilmu, hal ini terbukti dengan bermunculannya para ilmuwan muslim. Tetapi dengan berjalannya waktu intelektualisme Islam itu mulai redup seiring dengan pemahaman dan budaya mengekor (taqlid). Padahal al-Qur`an banyak memberikan isyarat agar mengkaji semua disiplin ilmu, tidak terbatas ilmu-ilmu agama saja. Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat al-Qur`an yang memerintahkan untuk mengkaji alam ini. Paradigma Pendidikan Islam yang mengarah kepada pengkajian yang komprehenshif baik ilmu pengetahuan agama maupun umum adalah sebagai Paradigma Pendidikan Islam Humanis atau memanusiakan manusia sesuai dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Kata kunci: Paradigma, Pendidikan dan Humanisme.
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.[1] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.[2] Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.[3] Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).[4]
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.(QS. Al-‘Alaq,96: 1-5).[5] Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj,22: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah,58: 11, al Nahl,16: 43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur). [6] Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam[7], meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju masyarakat yang berbudaya.[8] Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa.[9]
Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing). Munculnya berbagai lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini.[10] Prestasi besar Islam era inilah yang membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia barat.[11]
Namun Kontruksi spektakuler Islam masa lalu tersebut dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak ketika tahun 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada imperialisme Barat atas negara-negara Islam.[12] Pergulatannya dengan dunia barat bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam, seperti degradasi moral, pragmatis, hedonis, dan sekuler.[13]
Problem diatas masih diperparah dengan maraknya sintom dikotomik dan maraknya tradisi Taqlid dikalangan umat Islam. Menurut Abdurrahman Mas’ud sampai saat ini ada kesan umum bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran. Indikatornya adalah mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga yang serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan cara berfikir yang serba dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu agama versus ilmu non agama (Secular Sciences) dan bentuk – bentuk dikotomi lainnya.[14] Paradigma ini dipengaruhi bahwa sains dan teknologi sebagai lambang peradaban dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notobene negara nonmuslim. Akibatnya, pemahaman penjajahan Barat atas Timur semakin menguat dan dominasinya telah menyisihkan umat Islam yang semakin terbelakang dalam bidang sains, teknologi modern, informasi, ekonomi dan kultur (inferior complex). Sintom dikotomik ini bukan hanya muncul dari lembaga pendidikan Islam, tetapi telah menjangkiti seluruh lapisan Islam.[15]
Ilustrasi diatas menunjukkan terdapat ketidaktepatan antara teks ajaran terutama al Qurán sebagai landasan normatif umat Islam dengan praktek pendidikan Islam di era global seperti sekarang ini. Artinya, pendidikan Islam sebagai misi pembentukan insan kamil di era modern dapat dianggap gagal dalam membumikan universalitas ajaran Islam dan terjebak dalam dehumanisasi. Dalam prakteknya, Institusi pendidikan lebih merupakan proses transfer ilmu dan keahlian daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dehumanisasi pendidikan.[16]
Dari pemikiran diatas, penulisan ini diharapkan mampu mengeksplorasi universalitas ajaran Islam dalam teks al Qurán tentang humanisme dan implikasinya dalam pendidikan Islam sebagai kerangka paradigmatik.
PARADIGMA
Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution.[17] Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton sebagaimana dikutip Mansour Fakih mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the compexity of the real world”, (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata).[18] Sementara itu Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menggunakan istilah lain yang maknanya hampir sama dengan paradigma yaitu al-qa`idah fikriyah yang berarti pemikiran dasar yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya.[19]
PENDIDIKAN ISLAM
Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi dan pengertian. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.[20]
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Adapun pendidikan Islam memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan secara umum. Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[22]
Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[23]
Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[24]
Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam.[25]
HUMANISME
Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang.[26]
Menurut Sastrapratedja, dalam situasi pluralisasi kehidupan dan kebudayaan sekarang, tidak mungkin dirumuskan satu corak humanisme. Satu hal yang tak bisa ditiadakan dalam humanisme ialah harkat dan martabat manusia harus dihormati dan dikembangkan. Dalam hal ini filsafat berfungsi menafsirkan pengalaman manusia dan berbagai tradisi budaya. Dari sana tercipta pemahaman antara budaya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan hidup dan martabat manusia.
Menurutnya makna humanisme menjadi lebih kentara dan berfungsi justru pada saat konsep humanisme diperdebatkan. Makna itu selalu "menggelincir" dari pengertian yang tetap.
Mengutip pendapat Bauman, seorang pemikir pascamodernisme, Sastrapratedja mengatakan, bila kita ingin mempertahankan arah perjalanan kita, kita perlu mendefinisikannya kembali. Sejauh manusia masih mempertanyakan apa artinya menjadi manusia, maka humanisme sebagai pandangan hidup dan sebagai filsafat masih relevan.
Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.[27]
Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh Corliss Lamont dalam bukunya Philosophy of Humanism, ia mengatakan; humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.[28]
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya; dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah; Pertama; Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan. Kedua; Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan. Ketiga; Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Keempat; Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut. Kelima; Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima. Keenam; Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”.[29]
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini.
Humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Pertama, term basyar diulang di dalam al-Qurt`an sebanyak 36 kali dan 1 dengan derivasinya.[30] Term basyar digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk biologis adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah, 2:187 yang menjelaskan tentang perintah untuk beri`tikaf ketika bulan ramadhan dan jangan mempergauli istrinya ketika dalam masa i`tikaf, QS. Ali Imran 3:47 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang telah menjadikan maryam memiliki anak sementara tidak ada seorangpun yang mempergaulinya.
Kedua, term al-nas diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 240 kali.[31] Term al-nas digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh manusia sebagai makhluk sosial adalah firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49:13 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
Ketiga, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali.[32] Term bani adam digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional, sebagai contoh di dalam QS. al-Isra, 17:70. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa akan memuliakan manusia dan memberikan sarana dan prasarana baik di darat maupun di lautan. Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa manusia berpotensi melalui akalnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Keempat, term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali.[33] Term al-insan digunakan di dalam al-Qur`an untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Contohnya dalam QS. al-Dzariyat , 51:56 yang menjelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain hanyalah untuk menyembah kepada-Nya. QS. al-Ahzab, 33:72 menjelaskan tentang amanat yang diberikan Allah kepada manusia.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS MENURUT AL-QUR`AN
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor (taqlid,).[34] Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam.[35] Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization).
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan.[36] Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan didalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.[37]
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya derajat manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada khaliknya.
Adapun paradigma pendidikan Islam humanis yang terdapat didalam al-Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktifitas yang bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu pengetahuan yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo, 1969.
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999.
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1994.
Encarta, World Dictionary, 1999, Microsoft Corporation. Developed for Microsoft by Bloombury Publishing Plc.
Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976.
Fazlurrahman, Islam, Chicago, Chicago University Press, 1979.
Fadjar, Malik dalam Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
Freire, Paulo dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001
Freire, Paulo, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogykarta, Pustaka Pelajar & READ, 2002, hal. 190-1.
Gibb, H.A.R., Muhammadanism, A History Survey, Oxford, Oxford University Press,1953.
Hasan, Karnadi, “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000.
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980.
Ismail, Faisal, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta : Bakti Aksara Persada, 2003.
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur`an, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993.
Lamont, Corliss, The Philosophy of Humanism, 1977.
Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Pendidikan Nondikotomik,Gama Media, Yogyakarta, 2002.
Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an,
Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964.
Sastrapratedja, Michael, dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.
Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, An-Nidzam Al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut : Dar al-Ummah, 1990.
Thomas Khun, The Structure of Scientific Revolution, Chicago : The University of Chicago Press, 1970.
Webside http://www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm
Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara,
* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tercacat sebagai Mahasiswa Program Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Hal. 29.
[2] Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.
[3] Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v
[4] Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.
[5] Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu, eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.
[6] Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969, Hal. 5 dan 89.
[7] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media, 2002, hal. 65.
[8] Fazlurrahman mengindikasikan bahwa karakteristik masyarakat Arab pra Islam adalah suatu pra kondisi bagi perkrmbangan Islam sebagai sarana yang menyediakan aktivitas ekspansi Arab yang mencengangkan dan sarana terjadinya perubahan revolusioner. Fazlurrahman, Islam, Chicago : Chicago University Press, 1979, Hal. 1-2. Baca juga, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan Semantik terhadap al Qur’an, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997 dan Konsep–konsep Etika Relegius, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993.
[9] H.A.R.Gibb, Muhammadanism, A History Survey, Oxford University Press, 1953, Hal. 90.
[10] Dalam rentan Abad 7-11 M, Islam mencapai kejayaan sehingga menjadi kiblat dunia barat, terutama Eropa dan spanyol. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir Islam multi disiplin ilmu. Selain keempat madzhab sebagai teolog, muncul nama Al Tabari (w 923) ahli tafsir orisinil al Qur’an. Bidang tauhid dan sufistik, kita kenal Hasan al Basri (w 728) dan Asy’ari (w. 935). Juga muncul para ilmuwan di bidang filsafat dan sains seprti biologi, matematika, kimia, kedokteran. Mereka adalah filsuf sejati al Kindi (800-870), al farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1033 M), Ibnu Rusyd, al Jahiz (w. 255 H) ahli sastra Arab, Al Mas’udi (lahir 280 H/893 M) ahli filsafat dan geografi. al Razi (303H/925 M) ahli fisika, matematika, astronomi, logika, linguistic, dan kimia. Kedokteran. Karya al Razi ini menjadi sumber paten bidang kedokteran Barat sampai abad ke 18, al Khawarizmi seorang pakar matematika. Kita juga kenal Ibn Haitam, ahli cahaya. Ibn Hazm , (lahir 384 H/994 M) ahli sejarah. Ke belakang lagi, ada al Mawardi ( w. 1058) ahli dalam teori politik dengan maha karyanya yang terkenal, al ahkam al shulthaniyah. Nama besar al Ghazali (w. 1111 M) yang dikenal barat dengan istilah orang terpenting kedua dalam Islam setelah Muhammad, ahli berbabagai hal mulai fiqh, filsafat, kalam dan tasawuf dan masih banyak lagi pemikir-pemikir multi ilmu lainnya.
[11] Baca selengkapnya dalam Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origin of Western Education, Colorado, 1964, Hal. 61-62. Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Jakarta : Bakti Aksara Persada, 2003, Hal. 15-16.
[12] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Hal. 110.
[13] Dalam skala makro dan tak langsung, Faisal Ismail menyebutkan beberapa faktor pemicu kemunduran peradaban Islam terutama di dunia pendidikan pertama, pada masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad dan Bani Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol), terjadi proses pengeroposan nilai-nilai moral, sosial dan politik dalam bentuk meluasnya cara hidup hedonis, materialistis dan pragmatis dalam kehidupan para khalifah. Kedua, sejak peristiwa penghancuran baghdad, umat Islam di seluruh dunia dijajah oleh kekuatan kolonialis-imperialis Barat. Ketiga, Islam yang datang dan menyebar ke berbagai belahan dunia adalah Islam pasca Baghdad dan Pasca Cordova yang telah kehilangan elanvital, potensi ilmiah dan dinamika intelektualitasnya. Keempat, kondisi sisio-ekonomi yang belum menggembirakan. Baca juga, Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam, Op.Cit., Hal. 15-16.
[14] Baca selengkapnya: Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Op.Cit.
[15] Menurut Abdurrahman Mas’ud, problem ini lebih dipicu adanya polarisasi yang tajam antara sunni dan syi’ah, Pergolakan ini kemudian berlanjut ke dalam lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Nizamiyyah di Baghdad (459H/1069 M) sebagai simbol pelestarian sekte, madzhab dan aliran keagamaan, lengkap dengan keyakinan keagamaannya. Akibatnya, Madrasah ini hanya dirancang dengan kurikulum fikih an sich. Jadi tujuan madrasah ini secara jelas dimaksudkan untuk memperkuat ideologi Syafi’i Asy’ari dan membendung serangan dari pihak lain seperti Hambaliyyah, Hanafiyah, syi’ah, mu’tazilah yang berseberangan ideologi keagamaan. Namun Abdurrahman juga memberikan informasi seimbang bahwa kemenangan sunni atas syi’ah dan mu’tazilah dalam rangka mengikis ideologi hellenisme yang mengandarkan rasio yang dikhawatirkan menyebabkan demoralitas keberagaman saat itu, sehingga tidak memperkenankan mata pelajaran filsafat yang mengandalkan rasio dan logika yang berupakan sumber ilmu-ilmu sains.
[16]Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ, 2002, hal. 190-1.
[17] Thomas Khun, The Structure of Scientific Revolution, Chicago : The University of Chicago Press, 1970, hal. 134.
[18] Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hal. 78.
[19] Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, An-Nidzam Al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut : Dar al-Ummah, 1990, hal. 109.
[20] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hal. 232.
[21] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, hal. 5-6.
[22] Yusuf al-Qardhawi, Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, hal. 39.
[23] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma`arif, 1980, hal. 94.
[24] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta : Usaha Interprises, 1976, hal. 85.
[25] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat : Logos, 1999, hal. 6.
[26] Pernyataan itu disampaikan oleh Prof Dr Michael Sastrapratedja SJ dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di Aula STF Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.
[27] Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.
[28] Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, 1977, hal. 116.
[29] Dikutip dari www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm, Senin, 27 November 2006 jam 10.00.
[30] Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418H, hal. 152-153.
[31] Ibid, hal. 895-899.
[32] Ibid, hal. 32.
[33] Ibid, 119-120.
[34] Baca Tulisan Mustafa Umar, ‘ Ziauddin Sardar ; Islamisasi Peradaban’ dalam A Khudhori Sholeh, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela, 2003, Hal. 406.
[35] Lihat C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991, Hal. 5.
[36]Sebagaimana disitir Suyata dalam “Upaya Pembenahan Pendidikan Islam Lewat Penataan Kembali Pemikiran dan Penerapannya”, dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, Yogykarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY, 1999, hal. 97.
[37] Dikutip dari webside Pendidikan Network, judul Artikel Melacak Paradigma Pendidikan Islam, Selasa 28 November 2006, jam 11.30.
No comments:
Post a Comment